Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah ibni al-Marhum Sultan Mahmud Riayat Syah dilahirkan sebagai Tengku Juma’at pada 1755
Sultan Johor
Sultan Johor-Riau, Sultan Mahmud Shah III mangkat pada 1812 setelah memerintah selama lebih 50 tahun, tanpa melantik pewaris takhta. Baginda meninggalkan dua orang putera berlainan bonda, kedua-duanya berketurunan Bugis. Sebagai putera yang sulong, Tengku Hussain, pada kebiasannya akan menggantikan Sultan Mahmud berbanding adinda tirinya, Tengku Abdul Rahman yang lebih muda[4] Walaubagaimanapun, Tengku Hussain, sedang berada di Pahang semasa ayahndanya mangkat.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah memegang tampok Kesultanan Johor-Lingga-Pahang pada usia ke 57. Perebutan kuasa oleh Tengku Abdul Rahman telah berlaku yang mana sepatutnya Tengku Hussain (Tengku Long) anak sulung Sultan Mahmud Shah III dilantik sebagai sultan.
Perlantikan Tengku Abdul Rahman disokong kuat oleh Belanda kerana akan mendapat kuasa mentadbir pelabuhan seluruh negeri Johor kecuali Riau dan Lingga.
Beliau dengan itu dilantik Sultan Johor ke-17 dengan gelaran Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah pad 1812-1819 dimana adalah Sultan terakhir Kesultanan Johor-Lingga-Pahang.
British mula hendak campurtangan atas kepentingan Singapura dan cuba mempengaruhi Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah melantik Tengku Husin sebagai sultan.
Sultan Lingga
Dalam tahun 1818, dengan sokongan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jaafar, baginda telah ditabalkan sebagai Sultan dan Yang di Pertuan Besar Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman I Muazzam Shah ibni al-marhum Sultan Mahmud III Alam Shah dan diperakui oleh pihak Belanda (NEI)dan bermulanya Kesultanan Riau-Lingga.
Bendera Kesultanan Riau-Lingga
Semasa pemerintahan baginda Riau telah menjadi pusat perkembangan dan penyiaran agama Islam.
Pada 1 Syawal 1249H (1823) baginda telah mendirikan Majid Raya di Pulau Penyengat di Riau yang masih ada sehingga hari ini.
Tengku Husin pula telah dilantik sebagai Sultan Johor ke 18 dengan Gelaran Sultan Husin Muazzam Shah ibni al-Marhum Sultan Mahmud Syah
Mangkat
Baginda mangkat di Lingga dan dimakamkan di Bukit Chengah (Chengkeh) di Daik, Kepulauan Lingga pada 9 Ogos 1832.
Pengganti Sultan Lingga-Riau setelah kemangkatan Paduka Sri Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah, adalah anakanda baginda iaitu Paduka Sri Sultan Muhammad II Muazzam Shah ibni Almarhum Sultan Abdul Rahman I Muazzam Shah (lahir 1803) ditabalkan sebagai Sultan Lingga
Jumaat, 21 September 2012
Rabu, 19 September 2012
RADEN SUMITO JOYOKUSUMO
SRI SULTAN SURYA ALAM JOYOKOSUMO
SULTAN AGONG KESULTANAN DEMAK II
MASA KANAK-KANAK
R.Sumito joyokusumo lahir di demak, 6 maret 1972 putra dari seorang R. sugiman giri atmojo dan ibu asmirah bodin soekerto. Pada saat masih kanak-kanak memiliki nama kecil raden sumito. Ayahnya memberikan nama depan dengan nama raden karena memang memiliki garis keturunan keluarga bangsawan dari sultan demak bintoro.
Selain itu diartikan sebagai keturunan ( darah ) yang baik. Sedangkan kata sumito diartikan memiliki cita-cita yang tinggi demi kejayaan dan kemakmuran mahluk allah. Kemudian nama kusumo bunga sesama mahluk hidup dan Jaya berarti sukses dalam segala hal. Khususnya dalam hal kebaikan.
Dengan demikian, ayahnya memiliki cita-cita agar nantinya setelah dewasa Raden Sumito menjadi orang yang berguna bagi masyarakat banyak dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, maka ayah R. Sumito mendidik dengan ajaran-ajaran leluhur dan ilmu pengobatan. Ilmu tersebut diterimanya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu diusianya yang masih kanak-kanak telah mampu menguasai ilmu leluhur dan ilmu pengobatan yang dimiliki ayahnya, cukup banyak orang yang heran dan kagum dengan kemampuan yang dimiliki olehnya.
Di usia kanak-kanak ayahnya menyekolahkan di SD sekitar rumahnya Desa Kenep Mangunjiwan Demak. Seperti anak-anak pada umumnya suka bermain-main dan menggembala ternak. Cukup banyak ternak yang digembala sepulang dari sekolah dan hari libur.
Disini R. Sumito mampu membaca bahasa hewan peliharaanya, pergaulannya dengan binatang-binatang ternak peliharaanya itu membuat R. Sumito mampu bergaul dengan burung-burung yang ada di tanah persawahan dan kebun. Banyak burung yang datang dengan sendirinya mendekat. Berbagai jenis burung datang ketika sedang menggembala kambing dan ternak lainnya yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Sepertinya dia mampu berbicara dengan burung-burung di sekitar demak. Bahkan dengan ular pun bersahabat. Oleh sebab itu, dirinya kebal terhadap bias ular dan anti racun ular jenis apapun.
Kelebihan yang di miliki R. Sumito Joyokusumo ini membuat banyak masyarakat yang merasa kagum dan meminta pengobatan agar penyakitnya dapat disembuhkan. Permintaan masyarakat itu selalu ia kabulkan. sehingga banyak yang tersembuhkan dari penyakit, baik melalui pijat refleksi maupun dengan menggunakan ramuan obat herbal. Kesediaannya menyembuhkan penyakit dari orang-orang yang datang ke rumahnya sebenarnya ada yang menyuruh. Tapi orangbya tidak kelihatan . batin dan fikirannya seperti ada yang menggerakan. Sehingga orang-orang yang datang meminta pertolongan lagsung saja di setujui tanpa di tolak, baik pada siang maupun malam hari.
Di tengah-tengah kesibukannya untuk mengobati masyarakat, jika ada waktu yang luang di gunakan untuk bermain-main bersama teman-temannya. Seperti main layang-layang, berlari dan berenang di sungai tuntang. Maklum pada waktu itu anak-anak seusia dia banyak yang suka bermain daripada belajar seperti anak-anak sekarang. Tidak lupa kalau sudah mendekati maghrib, belajar mengaji di sebuah langgar pada seorang kiai kampong yang mengajarkan agama islam. Bahkan kadang-kadang tidur di langgar juga. Ilmu agama yang di miliki cukup bagus. Ilmu yang diajarkan kiainya dapat di amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya masalah ahlaqul karimah.
MASA SMP
Setelah lulus dari sekolah dasar (SD) kenep mangunjiwan demak melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Yaitu ke sekolah menengah pertama (SMPN 3) kenep mangunjiwan demak. Meskipuntelah duduk dibangku SMP, R. sumito masih menggembala ternak dan kambing orang tuanya. Tapi bila waktu libur sekolah menyempatkan diri untuk belajar ilmu pencak silat dan olah kanuragan.
Selama belajar ilmu bela diri pencak silat, R. sumito mengenal ilmu pernafasan dan tenaga dalam. ilmu tersebut dipelajari dengan sungguh-sungguh hingga menguasai dengan sempurna. Penguasaan atas ilmu pencak silat ini tidak membuat R. sumito suka berkelahi dengan siapapun yang menentangnya, melainkan ilmu itu disimpan dengan baik dan seakan-akan tidak memiliki. Sementara banyak anak-anak muda yang memamerkan ilmu silat dengan menantang duel dengan orang lain guna menjajal ilmu yang dimiliki selama ini.
Sikap arif dan bijaksana yang dimiliki R. sumito membuat teman-temannya senang dan dijadikan pemimpin dikalangan anak-anak muda. Pandangan matanya yang menyejukkan dan perilakunya yang tidak sombong membuat para preman takut dan segan untuk berbuat jahat didesanya. Lebih memilih menjauh, sehingga desanya aman dari ganguan para preman.
Saat duduk dibangku SMP ini R. sumito joyokusumo mulai mengenal hidup lelaku atau semedi. Yaitu tinggal ditempat-tempat sunyi untuk mendapatkan wangsit atau membersihkan hati agar mendapat sebuah ketenangan jiwa. Ia mulai menyukai tinggal di makam-makam yang cukup banyak disekitar desanya. Khususnya makam para raja, bangsawan kerajaan demak yang tidak diurus oleh ahli warisnya. Seperti makam astaba gedhong kenep demak dan makam lingkungan masjid demak bintoro serta makam sunan-sunan.
Di makam tersebut, merasakan adanya sebuah kedamaian jiwa. Kadang hanya duduk-duduk sendiri maupun bersama-sama temannya. Hingga ketiduran sampai sore karena merasa nyaman dengan angin yang menyejukkan. Dimakam ini pula ia mengenal sejarah panjang raja-raja demak dan para bangsawan yang meninggal dunia.
Selain itu beliau sering tinggal di masjid demak yang waktu itu banyak orang yang melakukan iktikaf dan berziarah. Karena masjid tersebut telah dianggap memiliki aura yang ccukup tinggi. Mengingat yang membuat masjid-masjid tersebut adalah walisongo yang hidupnya tanpa pamrih untuk menyebarkan agama islam.
Kepergiannya ke makam dan masjid itu sebenarnya sebatas bermain-main. Masih belum ada pikiran yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan anjuran gurunya agar lebih dekat dengan makam sebagai pengingat, bahwa mumpung masih muda hendaknya waktunya digunakan untuk kebaikan sebelum meninggal dunia.
Sedangkan sering datang ke masjid demak sesuai dengan perintah gurunya agar nantinya lebih dekat kepada allah. Mumpung masih muda hendaknya beribadah sebelum tiba waktu tua. Juga untuk meningkatkan keimanan terhadap allah SWT. Hal ini mendapat dukungan dari orangtuanya yang memang ketika masih muda pernah melakukan.
Sementara itu pada hari libur sekolah digunakan waktunya untuk bertamasya di laut yang bersuasana sunyi. Selain memancing, juga naik perahu dan duduk-duduk dipohon yang rindang, kemudian berlari-lari bersama teman-teman lainnya. Perasaan senang menyelimutinya. Dalam pikirannya muncul perenungan betapa sangat besar keagungan Allah SWT.
Di hari libur sekolah lainnya digunakan untuk pergi kegunung menikmati keindahan alam yang sejuk bersama teman-temannya maupun sendirian. Hal ini digunakan untuk mengenal dari dekat tentang keindahan alam pegunungan. Mengingat kota demak sangat dekat dengan daerah pantai. Bagi R. sumito pergi ke gunung merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi pikirannya maupun tubuhnya. Ia merasakan hawa yang sejuk dan udara yang bersih dan sangat sehat bagi paru-parunya. Oleh karena itu, ia merasa sangat bersyukur kepada Allah SWT.
MASA SMA
Setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) R. sumito lalu melanjutkan sekolah ke SMA demak guna menambah ilmunya. Ia merupakan sebagian kecil anak yang bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Guna mencapai cita-citanya. Bahkan ketika duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) R. sumito termasuk remaja yang cukup kreatif dan berfikir supra rasional. Oleh karena itu, pada saat liburan waktunya selalu digunakan untuk pergi kegunung , masjid bersejarah dan makam-makam para raja dan bangsawan kerajaan demak bintoro. Ia sepertinya ada yang menyuruh untuk mendatangi gunung, masjid dan makam-makam raja. Perginya R. sumito ke gunung, masjid bersejarah dan makam-makam para raja dan keluarganya bukan hanya sekedar untuk bermain seperti waktu kecil, melainkan memiliki tujuan yang cukup jelas. Yaitu melihat dan merasakan keagungan Illahi Robi Pencipta Semesta Alam.
Dari sinilah ia selalu berfikir, mengapa gunung itu diciptakan Allah. Kemudian mengapa masjid demak itu berdiri dan ketika berada di makam-makam para raja dan keluarganya muncul pertanyaan dlam dirinya. Mengapa orang yang pernah berkuasa dan sakti itu akhirnya meninggal dunia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul dalam benaknya saat berada di tempat tersebut.
Dalam kurun tiga tahun akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya, setalah melalui perjalanan panjang olah spriritual dan bertanya kepada ulama dan orang-orang yang mempunyai kewaskitaan. Di dukung lagi usianya yang semakin dewasa dan matang dalam membaca tanda-tanda zaman.
Jawaban pertanyaan seperti itu adalah gunung diciptakan Allah untuk umat manusiasebagai sumber air bersih, penahan banjir, angin puting beliung, tempat tinggal berbagai macam binatang dan sebagainya. Tapi jika di rusak, maka sudah barang tentu akan membawa malapetaka bagi manusia itu sendiri. Seperti meninggal akibat tertimbun longsoran gunung dan banjir banding. Karena manusia telah melakukan perusakan terhadap gunung yang penuh dengan pepohonannya.
Kemudian R. sumito menjawab, bahwa keberadaan masjid demak merupakan simbol dari berdirinya pusat penyebaran islam di masa lalu. Masjid tersebut merupakan pusat dakwah dari para wali penyebar agama islam di tanah jawa. Bahkan merupakan masjid terbesar dan termegah pada waktu itu.
Sementara makam-makam para raja dan keluarganya itu diartikan, bahwa selama hidup didunia ini tidak boleh sombong takabur. Juga bila berkuasa tidaklah boleh bertindak dzalim dan semena-mena terhadap rakyatnya. Karena tidak akan selamanya manusia itu akan berkuasa. Suatu saat akan turun dari jabatannya, baik diturunkan oleh musuhnya maupun disebabkan meninggal dunia.
Hamparan makam-makam itulah yang memberikan pelajaran penting bagi R. sumito untuk hidup lebih baik. Mumpung masih muda dan belum meninggal dunia waktunnya dipergunakan untuk mencari ilmu dan berbuat baik kepada sesama manusia serta berkarya bagi dirinya sendiri maupun untuk bangsa Indonesia.
Aktivitasnya yang cukup padat, baik disekolah maupun di luar sekolah menjadikan R. sumito tidak sempat pacaran sebagimana anak-anak muda waktu itu. Ia masih suka memikirkan kehidupan alam dan masa depan yang harus diraih. Baginya pacaran itu tidak penting. Karena di larang agama dan tidak sesuai dengan budaya masyarakat jawa yang selalu menjaga norma-norma.
Idealisme yang tinggi ketika duduk di bangku SMA membuat R. sumito tenggelam dalam kegiatan spiritual yang tinggi. Ia tinggal di gunung selama seminggu. Kalau sudah di masjid tidak ingin cepat-cepat pulang. Sebab menikmati iktikaf di dalam masjid, baik pada saat siang hari maupun tengah malam. Sedangkan jika berada di makam-makam para raja selalu melakukan semedi. Dalam dirinya selalu terbayang keinginannya untuk mengembalikan kejayaan kesultanan demak bintoro yang pernah jaya di masa lalu.
Bahkan dirinya membayangkan jika nantinya telah dewasa ingin sekali melestariakan budaya yang ditinggalkan oleh kesultann demak. Karena dirinya memiliki trah atau keturunan raja-raja melalui Pangeran wijil dari demak yang makamnya ada di laweyan kasunanan surokarto hadiningrat solo. Baginya hal itu bukanlah mustahil. Insya allah keinginannya akan terkabulkan.
MASA MUDA
Begitu lulus dari SMA demak, R. sumito melakukan perjalanan spiritual ke berbagai daerah di jateng. Ia tidak meneruskan kuliah ke perguruan tinggi di semarang. Waktu itu memang banyak remaja yang tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Kebanyakan setalah lulus SMA bekerja dan menikah.
Perjalanan spiritual R . sumito pada awal dewasa ini sebagai pendalaman ilmunya yang selama ini di milikinya. Ia mengibaratkan perjalanan spiritual ini sebagai suatu kuliah tidak formal. Berbagai kesulitan selama perjalanan tersebut dilalui dengan tabah. Hal ini menjadikan kekuatan batinnya semakin kuat dalam menghadapi persoalan hidup.
Dalam perjalanan spiritual inilah, R. sumito tumbuh menjadi seorang pemuda yang matang dan dewasa lahir batin. Ilmu yang dimilikinya diamalkan kepada anak-anak muda. Khususnya ilmu pencak silat tenaga dalam dan budaya. Cukup banyak anak-anak muda yang belajar kepadanya tanpa harus membayar.
Pelajaran silat yang diberikan itu mampu melahirkan pendekar-pendekar yang handal. Tapi tidak sombong dan pamer kekuatan. Apalagi dipergunakan untuk tindak kejahatan. Ilmu silat yang di ajarkan itu hanya untuk membela diri dari serangan manusia-manusia jahat dan kesehatan badan. Sekali-kali ia memberikan pelajaran tari kepada anak-anak muda, kemudian ditampilkan dalam sebuah pagelaran diatas panggung terbuka. Banyak masyarakat yang mengagumi hasil karya seni tarinya. Karena dinilai memiliki keindahan yang bernilai seni tinggi.
Selain itu menggelar kegiatan seminar dan dialog tentang dimana letaknya kesultanan demak bintoro. Dengan menghadirkan pakar-pakar sejarah dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang jawa tebgah. Cukup banyak sekali tokoh masyarakat dan cendikiawan yang menghadiri acara yang di adakan tersebut. Karena dianggap misteri dan perlu di ungkap. Kepeduliannya terhadap keberadaan keraton demak bintoro ini membawa R. sumito peduli terhadap masalah-masalah kelestarian peninggalan-peninggalan Kesultanan Demak Bintoro. Diantaranya adalah makam-makam bangsawan yang selama ini terbengkalai dan tidak medapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Seperti makam Astana Gedhong Kenep mangunjiwan.
Perhatiannya terhadap makam Astana Gedhong Kenep ini karena R. sumito melihat kondisinya sangat parah. Sebagian besar telah dijadikan persawahan. Sehingga bekas-bekas makamnya sudah tidak nampak sekali. Hanya sebagian yang masih nampak dan utuh yang bisa di pelihara. Karena sebagai salah satu bukti sejarah adanya Kesultanan Demak Bintoro.
Ia ingin penghilangan makam-makam keluarga raja Demak Bintoro ini berlangsung terus, baik dilakukan oleh manusia maupun alam. Juga jangan sampai Masjid Demak yang semakin tahun jumlahnya tinggal sedikit akibat penghilangan secara paksa oleh pengurus Masjid Demak. Diantara makam yang telah di hilangkan adalah makam yang berada di depan Raden Patah.
MENDIRIKAN YAYASAN
Latar belakang inilah yang menjadikan R. sumito kemudian pada tahun 1999 mendirikan Yayasan Keraton Glagahwangi Dhimak dengan tujuan untuk melestarikan Makam Astana Gedhong Kenep Mangunjiwan Demak agar keberadaannya semakin baik dan ada yang mengurus. Adapun kegiatan yayasan tersebut mulai melakukan penataan terhadap makam itu dimulai sejak tahun 1992. satu persatu makam ditata dengan baik dan rumput-rumput yang menutupi makam di hilangkan. Makam para pangeran diberi cungkup agar tidak kehujanan. Hingga akhirnya makam itu tertata dengan baik sekali. Tetapi sayangnya upaya melestarikan makam itu tersebut mandapat tantangan dari sejumlah masyarakat yang memang tidak suka akibat kurang mengerti niat baiknya. Kemudian muncul isu bahwa akan menyaingi makam kadilangu demak, padahal sebenarnya tidak demikian.
Isu inilah yang membawa dampak kurang baik bagi Makam Astana Gedhong Kenep. Tepatnya tahun 1999 puluhan anggota ormas pemuda GP anshor Demak melskukan penyerbuan ke lokasi Makam Astana Gedhong Kenep dengan melakukan pembakaran. Kemudian makam-makam yang ada dirusak. Sehingga banyak bentuk makam yang terbuat dari batu putih mangalami kerusakan yang cukup parah. Padahal makam itu tidak bersalah. Melihat aksi pembakaran dan perusakan makam-makam pangeran dan keluarga sultan membuat R. sumito hanya terdiam. Ia tidak melakukan perlawanan. Dalam batinnya mengatakan kalau orang-orang yang melakukan pembakaran dan perusakan makam itu belum tahu maksud dan tujuannya. Karena kalau dilawan nantinya akan berakibat fatal. Ia hanya mendoakan semoga Allah memberikan hidayah yang suatu saat akan sadar kalau Makam Astana Gedhong Kenep itu perlu dilestarikan dan dijaga. Bukannya dibakar fasilitasnya dan dirusak makamnya. Kemampuan menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan terhadap orang-orang yang melakukan pembakaran terhadap fasilitas makam itu merupakan pencapaian tingkat tinggi spiritualitas R. sumito. Hal ini sebagai bukti bahwa dirinya telah memilki ketinggian kesabaran menahan amarah.
Sejak itu R. sumito tidak lagi mengurusi Makam Astana Gedhong Kenep. Makm itu dibiarkan apa adanya terlantar. Karena percuma diurus kalau saja ada orang yang tidak menyukai dan berani bertindak anarkis. Baginya melestarikan makam bukanlah ada niatan bisnis, melainkan menguri-uri peninggalan kesultanan masa lampau. Setelah tiga tahun terjadi pembakaran dan perusakan Makam Astana Gedhong Kenep , R. sumito mendapat penghargaan dari AIMSH (America Institut Manajemen Studi Hawai ) dengan gelar Doktor Honoris Causa dan mendapa uang sebanyak 20 juta. Penghargaan ini sebagai penghargaan atas kepeduliannya terhadap pelestarian situs benda-benda pusaka kerajaan Demak Bintoro, khususnya terhadap Makam Astana Gedhong Kenep.
Baginya penghargaam yang diberikan orang-orang luar negeri itu dapat menyejukkan hati. Juga dapat meningkatkan semangat untuk ikut serta melestarikan benda-benda cagar budaya bangsa Indonesia yang berserakan di Kab demak agar tidak hilang. Perjalanan waktu terus berlangsung antara tahun 1999 sampai 2004. kondisi makam semakin tidak terusus. Rumput-rumput makin meninggi. Tidak ada orang maupun pejabat peduli terhadap makam tersebut. Kemudian menginjak tahun 2005 dan situasi negara stabil, ia bersama teman-temannya mulai memperhatikan Makam Astana Gedhong Kenep dan melakukan pemeliharaan. Upaya pemeliharaan di kompleks makam astana gedhong kenep itu mendapat sambutan yang cukup besar dan orang-orang yang telah melakukan pembakaran dan perusakan mulai sadar. Mereka tidak akan melakukan gangguan terhadap R. sumito yang betul-betul berniat baik ingin melestarikan makam itu.
Selain itu, masyarakat demak telah mengerti akn pentingnya keberadaan makam-makam keluarga para bangsawan demak dan cucu raden patah di makam astana gedhong kenep yang telah ada beberapa abad yang lalu. Mengingat ketika masih hidup keluarga sultan itu memiliki jasa yang cukup besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini, khususnya Kesutanan Demak Bintoro.
Juga kondisi situasi dan kondisi politik yang sempat memanas setelah lengsernya presiden soeharto dari jabatannya kembali menjadi kondusif. Sehingga nuansa panas yang membuat masyarakat mudah tersulut dan terprofokasi sudah tidak ada lagi. Masyarakat memilih hidup tenang dan tenteram. Tidak ingin lagi terbawa dalam situasi untuk bertindak anarkis di lingkungan sekitarnya sendiri. Yaitu merusak makam bersejarah. Sedangkan orang-orang yang pernah melakukan pembakaran terhadap fasilitas di dalam makam dan perusakan pada makam-makam yang ada telah menyatakan diri telah sadar. Bahwa apa yang pernah dilakukan itu telah melanggar Undang-Undang Cagar Budaya di Indonesia. Di antaranya adalah mantan ketua GP Ansor Ashadi. Ia menyatakan diri secara sukarela tanpa adanya peksaan telah bersalah. Tidak akan mengulangi lagi. Karena memang sangat merugikan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Bahkan siap untuk membantu menjaga makam yang dad di lokasi Komplek Makam Astana Gedhong Kenep yang lokasinya tidak jauh dari Masjid Demak.
Dalam pengakuannya waktu itu sedang khilaf dan terprofokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga melakukan upaya perusakan dan pembakaran pada makam Kompleks Astana Gedhong Kenep yang telah ditata R. sumito joyokusumo.
SURAT PERMOHONAN MAAF
Assalamu;alaikum Wr.Wb
Bersama ini saya Ashadi mantan ketua GP ANSOR Kabupaten Demak, beralamat di JL Kauman Utara RT 08 RW 01 Bintoro Demak bertindak selaku pribadi maupun selaku mantan ketua GP ANSOR Kabupaten Demak tahun 1999.
Pertama-pertama saya sampaikan seperti tersebut di bawah ini :
1. bahwa benar adanya pada waktu itu sekitar pukul 11.00 WIB tanggal 31 Agustus 1999 di lingkungan Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo atau dikenal Pangeran Dhimak Kenep Mangunjiwan Kab demak telah terjadi pembakaran dan penjarahan pada Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo yang dikelola oleh Yayasan Karaton Glagahwangi Dhimak
2. bahwa benar pelaku pembakaran dan penjarahan Kompleks Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut dilakukan oleh massa dan Banser GP ANSOR Kabupaten Demak
3. bahwa atas kejadian pembakaran itu dan penjarahan di Kompleks Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut telah merugikan pengelola komplek makam, Yayasan Keraton Glagahwangi Dhimak
4. Bahwa setelah kejadian pembakaran dan penyerangan terhadap Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut telah menyadarkan kami atas kekhilafan langkah institusi kami GP ANSOR Kabupaten Demak terhadap Yayasan karaton Glagahwangi selaku pengelola
Oleh karenanya atas kerendahan hati yang tulus serta jiwa besar kami, dengan ini : “ kami menyatakan permohonan maaf yang setulus-tulusnya kepada keluarga besar Yayasan Karaton Glagahwangi Dhimak atas terjadinya pembakaran dan penjarahan Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo. “
Demikian pernyataan permohonan maaf kami, yang telah kami buat ats kesadaran dan kekhilafan institusi kami, tanpa paksaan dari pihat manapun.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Demak.26-10-2001
Yang menyatakan
Ashadi
DIKUKUHKAN MENJADI SULTAN DEMAK
Kondisi dan situasi inilah yang menjdikan ia semakin bersemangat tinggi untuk kembali menjaga dan memugar makam yang ada. Satu persatu makam diperbaiki dan dibetulkan keberadaanya. Hingga akhirnya makam benar-benar seperti aslinya. Ada rasa kebanggaan pada dirinya, karena dapat melihat makam sudah kembali tertata rapid an dapat di ziarahi oleh orang-orang dari berbagai daerah dan masyarakat sekitar.
Setelah sekian tahun lamanya R. sumito menata dan melestariakan Makam Astana Gedhong Kenep, beliau mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat dan pemerintah. Karena telah menunjukan niatannya murni untuk pelestarian budaya bangsa. Upayanya ini kemudian mendapat bantuan moril dan spiritual.
Kemudian untuk kegiatan melestarikan Budaya Bangsa Indonesia dan menguri-uri Makam Astana Gedhong Kenep Mangunjiwan Kab demak itu, maka pada 22 maret 2007 ia mendirikan Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Agung Cokro Joyokusumo alias Pangeran Dhimak. Tujuannya untuk mengangkat kemasyuran leluhur guna mencapai kemakmuran bagi rakyat.
Seiring dengan berkembangnya Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Cokro Joyokusumo atau Pangeran Dhimak, maka beliau bersama keluarga pindah rumah di dekat areal Makam Astana Gedhong Kenep dengan tujuan akan dapat mengelola paguyuban tersebut dengan maksimal dan sekaligus sebagai tempat secretariat. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, maka paguyuban tersebut berkembang dengan pesat. Kegiatan-kegiatan yang bersifat budaya berjalan lancer dan mampu memberikan pengertian tentang pentingnya pelestarian budaya yang ada. Khususnya peninggalan Kesultanan Demak Bintoro ini. Sehingga masyarakat memiliki kepedulian terhadap situs-situs sejarah masa lalu.
Kepedulian itu telah terwujud dalam pemikiran masyarakat Demak untuk mengetahui di manakah letak Keraton Demak Bintoro dan tidak lagi mau merusak makam-makam tua yang ada di sekitarnya. Kecuali pengurus Masjid Demak yang masih terus menghilangkan makam-makam pangeran di sekitar Masjid Demak. Mungkin belum mengerti apa arti pentingnya keberadaan makam para kaum bangsawan dan ulama-ulama masa lalu yang berjasa terhadap kerajaan di sekitar masjid. Sepak terjangnya dalam melestarikan budaya, R. Sumito Joyokusumo bersama Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Cokro Joyokusumo atau Pangeran Dhimak dalam upaya melestarikam pusaka dan budaya Kesultanan Demak Bintoro di dengar oleh orang-orang luar negeri. Dari sinilah ia mendapatkan berbagai penghargaan.
Salah satu penghargaan yang cukup spektakuler adalah penobatannya beliau sebagai Sultan Keraton Glagahwangi Dhimak pada 7 oktober 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia oleh DYMM SRI SULTAN NOTOBROTO KERATON NUSANTARA di Malaysia dengan gelar DULI YANG MAHA MULIA SRI SULTAN SURYA ALAM JOYOKUSUMO. Argumentasi inilah yang mendasari R. sumito menjadi seorang sultan berdasrkan perhitungan falaq dan akan melestarikan budaya bangsa. Oleh karena itu dirinya di kukuhkan dan berhak menyandang gelar Sultan Demak di abad modern dengan gelar Duli Yang Maha Mulia Kanjeng Sri Suryo Alam. Pemberi penghargaan itu sebagai hal Kebangkitan Kesultanan Demak II di tanah jawa.
R. sumito sendiri bersedia menerima penghargaan dan penobatan tersebut sebagai Sultan Demak. Namun demikian, bukan berarti akn memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Tapi tetap dalam Negara Indonesia seperti Kerajaan di Solo, Surakarta Hadiningrat, dan Jogyakarta, Ngayogyakarta hadiningrat. Dimana Kesultanan Demak bergerak dalm bidang pelestarian budaya-budaya bangsa. Karena pelestarian budaya bangsa ini memang sangat diperlukan. Mengingat sudah banyak budaya dan pusaka-pusaka Kesultanan Demak yang hilang akibat alam maupun perusakan oleh masyarakat itu sendiri. Di sinilah R. sumito ingin menyelamatkan budaya leluhur yang masih ada.
Bahkan ingin sekali menggali peninggalan yang terkubeur dan hilang untuk dimunculkan kembali. Beliau sendiri secara pribadi siap untuk menjalankan amanah untuk melestarikan budaya Kesultanan Demak. Juga untuk menjaga kedamaian berdasarkan Undang-Undang 1945 dan Pancasila. Karena hidup di dunia ini suatu saat akan meninggal. Oleh sebab itu, mumpung masih hidup berbuat kebaikan bagi bangsa Indonesia dan Kasultanan biar nantinya dapat di kenang dengan baik.
Kemudian sebagai wujud dari adanya Kesultanan Demak dan dirinya sebagai sultannya, maka tiap tahun mengadakan pemberian penghargaan atau jumenengan kepada masyarakat yang telah berhasil melestarikan budaya bangsa seprti yang dilakukan oleh Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat jogjakarta dan Susuhuna Surakarta Hadiningrat di Solo Jawa Tengah. Untuk tahun ini telah diadakan tanggal 18-19 Maret 2010. selain itu, pada bulan November 2010 menggelar pertemuan raja-raja se-Nusantara dan juga nantinya akan dihadiri Sultan dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Hal ini sebagai wujud dari eksistensi R. sumito sebagai Sultan Demak di zaman sekarang ini. pertemuan raja-raja dan sultan ini di harapkan akan menjadikan ajang silahturahmi. Kemudian membahas berbagai macam persoalan mesyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat dalam bidang ekonomi. Sehingga akan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat secara menyeluruh sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa.
Keberadaan kesultanan keraton glagahwangi dhimak saat ini memang belum ada istananya yang besar. Namun telah di rancang dalam bentuk maket gambar gedung Keraton Glagahwangi dhimak. Bangunannya nanti tidak jauh dari Makam Astana Gedhong Kenep. Tapi tidak akan menghilangkan makam yang ada.
Keratin Kesultanan Dhimak ini nantinya akan menjadi pusat kebudayaan kesultanan. Semua masyarakat dapat berkunjung sebagaimana keika berkunjung di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadingrat (DIY) dan Keraton Surakarta Hadiningrat Sola Jawa Tengah. Nantinya juga sebagai tempat pertemuan para raja seluruh Nusantara.
Juga di gunakan sebagai tempat seminar dan diskusi oleh kalangan pelajar maupun masyarakat luas tentang kebudayaan masa lalu yang pernah ada dan dihasilkan Kesultanan Demak di masa lampau. Sehinggga diharapkan akan menumbuhkan cinta akan kebudayaan Demak yang telah lama hilang sebagai akibat perpecahan di antara keluarga Kesultanan Demak Bintoro di masa lalu. Munculnya Kesultanan Demak yang baru akan membawa masa depan yang lebih baik dan akan terlestarikannya budaya Kesultanan Demak. Sehingga akan muncul kembali kebesaran dan kejayaan Kesultanan Demak Bintoro.
SRI SULTAN SURYA ALAM JOYOKOSUMO
SULTAN AGONG KESULTANAN DEMAK II
MASA KANAK-KANAK
R.Sumito joyokusumo lahir di demak, 6 maret 1972 putra dari seorang R. sugiman giri atmojo dan ibu asmirah bodin soekerto. Pada saat masih kanak-kanak memiliki nama kecil raden sumito. Ayahnya memberikan nama depan dengan nama raden karena memang memiliki garis keturunan keluarga bangsawan dari sultan demak bintoro.
Selain itu diartikan sebagai keturunan ( darah ) yang baik. Sedangkan kata sumito diartikan memiliki cita-cita yang tinggi demi kejayaan dan kemakmuran mahluk allah. Kemudian nama kusumo bunga sesama mahluk hidup dan Jaya berarti sukses dalam segala hal. Khususnya dalam hal kebaikan.
Dengan demikian, ayahnya memiliki cita-cita agar nantinya setelah dewasa Raden Sumito menjadi orang yang berguna bagi masyarakat banyak dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, maka ayah R. Sumito mendidik dengan ajaran-ajaran leluhur dan ilmu pengobatan. Ilmu tersebut diterimanya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu diusianya yang masih kanak-kanak telah mampu menguasai ilmu leluhur dan ilmu pengobatan yang dimiliki ayahnya, cukup banyak orang yang heran dan kagum dengan kemampuan yang dimiliki olehnya.
Di usia kanak-kanak ayahnya menyekolahkan di SD sekitar rumahnya Desa Kenep Mangunjiwan Demak. Seperti anak-anak pada umumnya suka bermain-main dan menggembala ternak. Cukup banyak ternak yang digembala sepulang dari sekolah dan hari libur.
Disini R. Sumito mampu membaca bahasa hewan peliharaanya, pergaulannya dengan binatang-binatang ternak peliharaanya itu membuat R. Sumito mampu bergaul dengan burung-burung yang ada di tanah persawahan dan kebun. Banyak burung yang datang dengan sendirinya mendekat. Berbagai jenis burung datang ketika sedang menggembala kambing dan ternak lainnya yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Sepertinya dia mampu berbicara dengan burung-burung di sekitar demak. Bahkan dengan ular pun bersahabat. Oleh sebab itu, dirinya kebal terhadap bias ular dan anti racun ular jenis apapun.
Kelebihan yang di miliki R. Sumito Joyokusumo ini membuat banyak masyarakat yang merasa kagum dan meminta pengobatan agar penyakitnya dapat disembuhkan. Permintaan masyarakat itu selalu ia kabulkan. sehingga banyak yang tersembuhkan dari penyakit, baik melalui pijat refleksi maupun dengan menggunakan ramuan obat herbal. Kesediaannya menyembuhkan penyakit dari orang-orang yang datang ke rumahnya sebenarnya ada yang menyuruh. Tapi orangbya tidak kelihatan . batin dan fikirannya seperti ada yang menggerakan. Sehingga orang-orang yang datang meminta pertolongan lagsung saja di setujui tanpa di tolak, baik pada siang maupun malam hari.
Di tengah-tengah kesibukannya untuk mengobati masyarakat, jika ada waktu yang luang di gunakan untuk bermain-main bersama teman-temannya. Seperti main layang-layang, berlari dan berenang di sungai tuntang. Maklum pada waktu itu anak-anak seusia dia banyak yang suka bermain daripada belajar seperti anak-anak sekarang. Tidak lupa kalau sudah mendekati maghrib, belajar mengaji di sebuah langgar pada seorang kiai kampong yang mengajarkan agama islam. Bahkan kadang-kadang tidur di langgar juga. Ilmu agama yang di miliki cukup bagus. Ilmu yang diajarkan kiainya dapat di amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya masalah ahlaqul karimah.
MASA SMP
Setelah lulus dari sekolah dasar (SD) kenep mangunjiwan demak melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Yaitu ke sekolah menengah pertama (SMPN 3) kenep mangunjiwan demak. Meskipuntelah duduk dibangku SMP, R. sumito masih menggembala ternak dan kambing orang tuanya. Tapi bila waktu libur sekolah menyempatkan diri untuk belajar ilmu pencak silat dan olah kanuragan.
Selama belajar ilmu bela diri pencak silat, R. sumito mengenal ilmu pernafasan dan tenaga dalam. ilmu tersebut dipelajari dengan sungguh-sungguh hingga menguasai dengan sempurna. Penguasaan atas ilmu pencak silat ini tidak membuat R. sumito suka berkelahi dengan siapapun yang menentangnya, melainkan ilmu itu disimpan dengan baik dan seakan-akan tidak memiliki. Sementara banyak anak-anak muda yang memamerkan ilmu silat dengan menantang duel dengan orang lain guna menjajal ilmu yang dimiliki selama ini.
Sikap arif dan bijaksana yang dimiliki R. sumito membuat teman-temannya senang dan dijadikan pemimpin dikalangan anak-anak muda. Pandangan matanya yang menyejukkan dan perilakunya yang tidak sombong membuat para preman takut dan segan untuk berbuat jahat didesanya. Lebih memilih menjauh, sehingga desanya aman dari ganguan para preman.
Saat duduk dibangku SMP ini R. sumito joyokusumo mulai mengenal hidup lelaku atau semedi. Yaitu tinggal ditempat-tempat sunyi untuk mendapatkan wangsit atau membersihkan hati agar mendapat sebuah ketenangan jiwa. Ia mulai menyukai tinggal di makam-makam yang cukup banyak disekitar desanya. Khususnya makam para raja, bangsawan kerajaan demak yang tidak diurus oleh ahli warisnya. Seperti makam astaba gedhong kenep demak dan makam lingkungan masjid demak bintoro serta makam sunan-sunan.
Di makam tersebut, merasakan adanya sebuah kedamaian jiwa. Kadang hanya duduk-duduk sendiri maupun bersama-sama temannya. Hingga ketiduran sampai sore karena merasa nyaman dengan angin yang menyejukkan. Dimakam ini pula ia mengenal sejarah panjang raja-raja demak dan para bangsawan yang meninggal dunia.
Selain itu beliau sering tinggal di masjid demak yang waktu itu banyak orang yang melakukan iktikaf dan berziarah. Karena masjid tersebut telah dianggap memiliki aura yang ccukup tinggi. Mengingat yang membuat masjid-masjid tersebut adalah walisongo yang hidupnya tanpa pamrih untuk menyebarkan agama islam.
Kepergiannya ke makam dan masjid itu sebenarnya sebatas bermain-main. Masih belum ada pikiran yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan anjuran gurunya agar lebih dekat dengan makam sebagai pengingat, bahwa mumpung masih muda hendaknya waktunya digunakan untuk kebaikan sebelum meninggal dunia.
Sedangkan sering datang ke masjid demak sesuai dengan perintah gurunya agar nantinya lebih dekat kepada allah. Mumpung masih muda hendaknya beribadah sebelum tiba waktu tua. Juga untuk meningkatkan keimanan terhadap allah SWT. Hal ini mendapat dukungan dari orangtuanya yang memang ketika masih muda pernah melakukan.
Sementara itu pada hari libur sekolah digunakan waktunya untuk bertamasya di laut yang bersuasana sunyi. Selain memancing, juga naik perahu dan duduk-duduk dipohon yang rindang, kemudian berlari-lari bersama teman-teman lainnya. Perasaan senang menyelimutinya. Dalam pikirannya muncul perenungan betapa sangat besar keagungan Allah SWT.
Di hari libur sekolah lainnya digunakan untuk pergi kegunung menikmati keindahan alam yang sejuk bersama teman-temannya maupun sendirian. Hal ini digunakan untuk mengenal dari dekat tentang keindahan alam pegunungan. Mengingat kota demak sangat dekat dengan daerah pantai. Bagi R. sumito pergi ke gunung merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi pikirannya maupun tubuhnya. Ia merasakan hawa yang sejuk dan udara yang bersih dan sangat sehat bagi paru-parunya. Oleh karena itu, ia merasa sangat bersyukur kepada Allah SWT.
MASA SMA
Setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) R. sumito lalu melanjutkan sekolah ke SMA demak guna menambah ilmunya. Ia merupakan sebagian kecil anak yang bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Guna mencapai cita-citanya. Bahkan ketika duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) R. sumito termasuk remaja yang cukup kreatif dan berfikir supra rasional. Oleh karena itu, pada saat liburan waktunya selalu digunakan untuk pergi kegunung , masjid bersejarah dan makam-makam para raja dan bangsawan kerajaan demak bintoro. Ia sepertinya ada yang menyuruh untuk mendatangi gunung, masjid dan makam-makam raja. Perginya R. sumito ke gunung, masjid bersejarah dan makam-makam para raja dan keluarganya bukan hanya sekedar untuk bermain seperti waktu kecil, melainkan memiliki tujuan yang cukup jelas. Yaitu melihat dan merasakan keagungan Illahi Robi Pencipta Semesta Alam.
Dari sinilah ia selalu berfikir, mengapa gunung itu diciptakan Allah. Kemudian mengapa masjid demak itu berdiri dan ketika berada di makam-makam para raja dan keluarganya muncul pertanyaan dlam dirinya. Mengapa orang yang pernah berkuasa dan sakti itu akhirnya meninggal dunia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul dalam benaknya saat berada di tempat tersebut.
Dalam kurun tiga tahun akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya, setalah melalui perjalanan panjang olah spriritual dan bertanya kepada ulama dan orang-orang yang mempunyai kewaskitaan. Di dukung lagi usianya yang semakin dewasa dan matang dalam membaca tanda-tanda zaman.
Jawaban pertanyaan seperti itu adalah gunung diciptakan Allah untuk umat manusiasebagai sumber air bersih, penahan banjir, angin puting beliung, tempat tinggal berbagai macam binatang dan sebagainya. Tapi jika di rusak, maka sudah barang tentu akan membawa malapetaka bagi manusia itu sendiri. Seperti meninggal akibat tertimbun longsoran gunung dan banjir banding. Karena manusia telah melakukan perusakan terhadap gunung yang penuh dengan pepohonannya.
Kemudian R. sumito menjawab, bahwa keberadaan masjid demak merupakan simbol dari berdirinya pusat penyebaran islam di masa lalu. Masjid tersebut merupakan pusat dakwah dari para wali penyebar agama islam di tanah jawa. Bahkan merupakan masjid terbesar dan termegah pada waktu itu.
Sementara makam-makam para raja dan keluarganya itu diartikan, bahwa selama hidup didunia ini tidak boleh sombong takabur. Juga bila berkuasa tidaklah boleh bertindak dzalim dan semena-mena terhadap rakyatnya. Karena tidak akan selamanya manusia itu akan berkuasa. Suatu saat akan turun dari jabatannya, baik diturunkan oleh musuhnya maupun disebabkan meninggal dunia.
Hamparan makam-makam itulah yang memberikan pelajaran penting bagi R. sumito untuk hidup lebih baik. Mumpung masih muda dan belum meninggal dunia waktunnya dipergunakan untuk mencari ilmu dan berbuat baik kepada sesama manusia serta berkarya bagi dirinya sendiri maupun untuk bangsa Indonesia.
Aktivitasnya yang cukup padat, baik disekolah maupun di luar sekolah menjadikan R. sumito tidak sempat pacaran sebagimana anak-anak muda waktu itu. Ia masih suka memikirkan kehidupan alam dan masa depan yang harus diraih. Baginya pacaran itu tidak penting. Karena di larang agama dan tidak sesuai dengan budaya masyarakat jawa yang selalu menjaga norma-norma.
Idealisme yang tinggi ketika duduk di bangku SMA membuat R. sumito tenggelam dalam kegiatan spiritual yang tinggi. Ia tinggal di gunung selama seminggu. Kalau sudah di masjid tidak ingin cepat-cepat pulang. Sebab menikmati iktikaf di dalam masjid, baik pada saat siang hari maupun tengah malam. Sedangkan jika berada di makam-makam para raja selalu melakukan semedi. Dalam dirinya selalu terbayang keinginannya untuk mengembalikan kejayaan kesultanan demak bintoro yang pernah jaya di masa lalu.
Bahkan dirinya membayangkan jika nantinya telah dewasa ingin sekali melestariakan budaya yang ditinggalkan oleh kesultann demak. Karena dirinya memiliki trah atau keturunan raja-raja melalui Pangeran wijil dari demak yang makamnya ada di laweyan kasunanan surokarto hadiningrat solo. Baginya hal itu bukanlah mustahil. Insya allah keinginannya akan terkabulkan.
MASA MUDA
Begitu lulus dari SMA demak, R. sumito melakukan perjalanan spiritual ke berbagai daerah di jateng. Ia tidak meneruskan kuliah ke perguruan tinggi di semarang. Waktu itu memang banyak remaja yang tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Kebanyakan setalah lulus SMA bekerja dan menikah.
Perjalanan spiritual R . sumito pada awal dewasa ini sebagai pendalaman ilmunya yang selama ini di milikinya. Ia mengibaratkan perjalanan spiritual ini sebagai suatu kuliah tidak formal. Berbagai kesulitan selama perjalanan tersebut dilalui dengan tabah. Hal ini menjadikan kekuatan batinnya semakin kuat dalam menghadapi persoalan hidup.
Dalam perjalanan spiritual inilah, R. sumito tumbuh menjadi seorang pemuda yang matang dan dewasa lahir batin. Ilmu yang dimilikinya diamalkan kepada anak-anak muda. Khususnya ilmu pencak silat tenaga dalam dan budaya. Cukup banyak anak-anak muda yang belajar kepadanya tanpa harus membayar.
Pelajaran silat yang diberikan itu mampu melahirkan pendekar-pendekar yang handal. Tapi tidak sombong dan pamer kekuatan. Apalagi dipergunakan untuk tindak kejahatan. Ilmu silat yang di ajarkan itu hanya untuk membela diri dari serangan manusia-manusia jahat dan kesehatan badan. Sekali-kali ia memberikan pelajaran tari kepada anak-anak muda, kemudian ditampilkan dalam sebuah pagelaran diatas panggung terbuka. Banyak masyarakat yang mengagumi hasil karya seni tarinya. Karena dinilai memiliki keindahan yang bernilai seni tinggi.
Selain itu menggelar kegiatan seminar dan dialog tentang dimana letaknya kesultanan demak bintoro. Dengan menghadirkan pakar-pakar sejarah dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang jawa tebgah. Cukup banyak sekali tokoh masyarakat dan cendikiawan yang menghadiri acara yang di adakan tersebut. Karena dianggap misteri dan perlu di ungkap. Kepeduliannya terhadap keberadaan keraton demak bintoro ini membawa R. sumito peduli terhadap masalah-masalah kelestarian peninggalan-peninggalan Kesultanan Demak Bintoro. Diantaranya adalah makam-makam bangsawan yang selama ini terbengkalai dan tidak medapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Seperti makam Astana Gedhong Kenep mangunjiwan.
Perhatiannya terhadap makam Astana Gedhong Kenep ini karena R. sumito melihat kondisinya sangat parah. Sebagian besar telah dijadikan persawahan. Sehingga bekas-bekas makamnya sudah tidak nampak sekali. Hanya sebagian yang masih nampak dan utuh yang bisa di pelihara. Karena sebagai salah satu bukti sejarah adanya Kesultanan Demak Bintoro.
Ia ingin penghilangan makam-makam keluarga raja Demak Bintoro ini berlangsung terus, baik dilakukan oleh manusia maupun alam. Juga jangan sampai Masjid Demak yang semakin tahun jumlahnya tinggal sedikit akibat penghilangan secara paksa oleh pengurus Masjid Demak. Diantara makam yang telah di hilangkan adalah makam yang berada di depan Raden Patah.
MENDIRIKAN YAYASAN
Latar belakang inilah yang menjadikan R. sumito kemudian pada tahun 1999 mendirikan Yayasan Keraton Glagahwangi Dhimak dengan tujuan untuk melestarikan Makam Astana Gedhong Kenep Mangunjiwan Demak agar keberadaannya semakin baik dan ada yang mengurus. Adapun kegiatan yayasan tersebut mulai melakukan penataan terhadap makam itu dimulai sejak tahun 1992. satu persatu makam ditata dengan baik dan rumput-rumput yang menutupi makam di hilangkan. Makam para pangeran diberi cungkup agar tidak kehujanan. Hingga akhirnya makam itu tertata dengan baik sekali. Tetapi sayangnya upaya melestarikan makam itu tersebut mandapat tantangan dari sejumlah masyarakat yang memang tidak suka akibat kurang mengerti niat baiknya. Kemudian muncul isu bahwa akan menyaingi makam kadilangu demak, padahal sebenarnya tidak demikian.
Isu inilah yang membawa dampak kurang baik bagi Makam Astana Gedhong Kenep. Tepatnya tahun 1999 puluhan anggota ormas pemuda GP anshor Demak melskukan penyerbuan ke lokasi Makam Astana Gedhong Kenep dengan melakukan pembakaran. Kemudian makam-makam yang ada dirusak. Sehingga banyak bentuk makam yang terbuat dari batu putih mangalami kerusakan yang cukup parah. Padahal makam itu tidak bersalah. Melihat aksi pembakaran dan perusakan makam-makam pangeran dan keluarga sultan membuat R. sumito hanya terdiam. Ia tidak melakukan perlawanan. Dalam batinnya mengatakan kalau orang-orang yang melakukan pembakaran dan perusakan makam itu belum tahu maksud dan tujuannya. Karena kalau dilawan nantinya akan berakibat fatal. Ia hanya mendoakan semoga Allah memberikan hidayah yang suatu saat akan sadar kalau Makam Astana Gedhong Kenep itu perlu dilestarikan dan dijaga. Bukannya dibakar fasilitasnya dan dirusak makamnya. Kemampuan menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan terhadap orang-orang yang melakukan pembakaran terhadap fasilitas makam itu merupakan pencapaian tingkat tinggi spiritualitas R. sumito. Hal ini sebagai bukti bahwa dirinya telah memilki ketinggian kesabaran menahan amarah.
Sejak itu R. sumito tidak lagi mengurusi Makam Astana Gedhong Kenep. Makm itu dibiarkan apa adanya terlantar. Karena percuma diurus kalau saja ada orang yang tidak menyukai dan berani bertindak anarkis. Baginya melestarikan makam bukanlah ada niatan bisnis, melainkan menguri-uri peninggalan kesultanan masa lampau. Setelah tiga tahun terjadi pembakaran dan perusakan Makam Astana Gedhong Kenep , R. sumito mendapat penghargaan dari AIMSH (America Institut Manajemen Studi Hawai ) dengan gelar Doktor Honoris Causa dan mendapa uang sebanyak 20 juta. Penghargaan ini sebagai penghargaan atas kepeduliannya terhadap pelestarian situs benda-benda pusaka kerajaan Demak Bintoro, khususnya terhadap Makam Astana Gedhong Kenep.
Baginya penghargaam yang diberikan orang-orang luar negeri itu dapat menyejukkan hati. Juga dapat meningkatkan semangat untuk ikut serta melestarikan benda-benda cagar budaya bangsa Indonesia yang berserakan di Kab demak agar tidak hilang. Perjalanan waktu terus berlangsung antara tahun 1999 sampai 2004. kondisi makam semakin tidak terusus. Rumput-rumput makin meninggi. Tidak ada orang maupun pejabat peduli terhadap makam tersebut. Kemudian menginjak tahun 2005 dan situasi negara stabil, ia bersama teman-temannya mulai memperhatikan Makam Astana Gedhong Kenep dan melakukan pemeliharaan. Upaya pemeliharaan di kompleks makam astana gedhong kenep itu mendapat sambutan yang cukup besar dan orang-orang yang telah melakukan pembakaran dan perusakan mulai sadar. Mereka tidak akan melakukan gangguan terhadap R. sumito yang betul-betul berniat baik ingin melestarikan makam itu.
Selain itu, masyarakat demak telah mengerti akn pentingnya keberadaan makam-makam keluarga para bangsawan demak dan cucu raden patah di makam astana gedhong kenep yang telah ada beberapa abad yang lalu. Mengingat ketika masih hidup keluarga sultan itu memiliki jasa yang cukup besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini, khususnya Kesutanan Demak Bintoro.
Juga kondisi situasi dan kondisi politik yang sempat memanas setelah lengsernya presiden soeharto dari jabatannya kembali menjadi kondusif. Sehingga nuansa panas yang membuat masyarakat mudah tersulut dan terprofokasi sudah tidak ada lagi. Masyarakat memilih hidup tenang dan tenteram. Tidak ingin lagi terbawa dalam situasi untuk bertindak anarkis di lingkungan sekitarnya sendiri. Yaitu merusak makam bersejarah. Sedangkan orang-orang yang pernah melakukan pembakaran terhadap fasilitas di dalam makam dan perusakan pada makam-makam yang ada telah menyatakan diri telah sadar. Bahwa apa yang pernah dilakukan itu telah melanggar Undang-Undang Cagar Budaya di Indonesia. Di antaranya adalah mantan ketua GP Ansor Ashadi. Ia menyatakan diri secara sukarela tanpa adanya peksaan telah bersalah. Tidak akan mengulangi lagi. Karena memang sangat merugikan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Bahkan siap untuk membantu menjaga makam yang dad di lokasi Komplek Makam Astana Gedhong Kenep yang lokasinya tidak jauh dari Masjid Demak.
Dalam pengakuannya waktu itu sedang khilaf dan terprofokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga melakukan upaya perusakan dan pembakaran pada makam Kompleks Astana Gedhong Kenep yang telah ditata R. sumito joyokusumo.
SURAT PERMOHONAN MAAF
Assalamu;alaikum Wr.Wb
Bersama ini saya Ashadi mantan ketua GP ANSOR Kabupaten Demak, beralamat di JL Kauman Utara RT 08 RW 01 Bintoro Demak bertindak selaku pribadi maupun selaku mantan ketua GP ANSOR Kabupaten Demak tahun 1999.
Pertama-pertama saya sampaikan seperti tersebut di bawah ini :
1. bahwa benar adanya pada waktu itu sekitar pukul 11.00 WIB tanggal 31 Agustus 1999 di lingkungan Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo atau dikenal Pangeran Dhimak Kenep Mangunjiwan Kab demak telah terjadi pembakaran dan penjarahan pada Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo yang dikelola oleh Yayasan Karaton Glagahwangi Dhimak
2. bahwa benar pelaku pembakaran dan penjarahan Kompleks Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut dilakukan oleh massa dan Banser GP ANSOR Kabupaten Demak
3. bahwa atas kejadian pembakaran itu dan penjarahan di Kompleks Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut telah merugikan pengelola komplek makam, Yayasan Keraton Glagahwangi Dhimak
4. Bahwa setelah kejadian pembakaran dan penyerangan terhadap Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo tersebut telah menyadarkan kami atas kekhilafan langkah institusi kami GP ANSOR Kabupaten Demak terhadap Yayasan karaton Glagahwangi selaku pengelola
Oleh karenanya atas kerendahan hati yang tulus serta jiwa besar kami, dengan ini : “ kami menyatakan permohonan maaf yang setulus-tulusnya kepada keluarga besar Yayasan Karaton Glagahwangi Dhimak atas terjadinya pembakaran dan penjarahan Komplek Makam Ki Agung Cokro Joyokusumo. “
Demikian pernyataan permohonan maaf kami, yang telah kami buat ats kesadaran dan kekhilafan institusi kami, tanpa paksaan dari pihat manapun.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Demak.26-10-2001
Yang menyatakan
Ashadi
DIKUKUHKAN MENJADI SULTAN DEMAK
Kondisi dan situasi inilah yang menjdikan ia semakin bersemangat tinggi untuk kembali menjaga dan memugar makam yang ada. Satu persatu makam diperbaiki dan dibetulkan keberadaanya. Hingga akhirnya makam benar-benar seperti aslinya. Ada rasa kebanggaan pada dirinya, karena dapat melihat makam sudah kembali tertata rapid an dapat di ziarahi oleh orang-orang dari berbagai daerah dan masyarakat sekitar.
Setelah sekian tahun lamanya R. sumito menata dan melestariakan Makam Astana Gedhong Kenep, beliau mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat dan pemerintah. Karena telah menunjukan niatannya murni untuk pelestarian budaya bangsa. Upayanya ini kemudian mendapat bantuan moril dan spiritual.
Kemudian untuk kegiatan melestarikan Budaya Bangsa Indonesia dan menguri-uri Makam Astana Gedhong Kenep Mangunjiwan Kab demak itu, maka pada 22 maret 2007 ia mendirikan Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Agung Cokro Joyokusumo alias Pangeran Dhimak. Tujuannya untuk mengangkat kemasyuran leluhur guna mencapai kemakmuran bagi rakyat.
Seiring dengan berkembangnya Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Cokro Joyokusumo atau Pangeran Dhimak, maka beliau bersama keluarga pindah rumah di dekat areal Makam Astana Gedhong Kenep dengan tujuan akan dapat mengelola paguyuban tersebut dengan maksimal dan sekaligus sebagai tempat secretariat. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, maka paguyuban tersebut berkembang dengan pesat. Kegiatan-kegiatan yang bersifat budaya berjalan lancer dan mampu memberikan pengertian tentang pentingnya pelestarian budaya yang ada. Khususnya peninggalan Kesultanan Demak Bintoro ini. Sehingga masyarakat memiliki kepedulian terhadap situs-situs sejarah masa lalu.
Kepedulian itu telah terwujud dalam pemikiran masyarakat Demak untuk mengetahui di manakah letak Keraton Demak Bintoro dan tidak lagi mau merusak makam-makam tua yang ada di sekitarnya. Kecuali pengurus Masjid Demak yang masih terus menghilangkan makam-makam pangeran di sekitar Masjid Demak. Mungkin belum mengerti apa arti pentingnya keberadaan makam para kaum bangsawan dan ulama-ulama masa lalu yang berjasa terhadap kerajaan di sekitar masjid. Sepak terjangnya dalam melestarikan budaya, R. Sumito Joyokusumo bersama Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Cokro Joyokusumo atau Pangeran Dhimak dalam upaya melestarikam pusaka dan budaya Kesultanan Demak Bintoro di dengar oleh orang-orang luar negeri. Dari sinilah ia mendapatkan berbagai penghargaan.
Salah satu penghargaan yang cukup spektakuler adalah penobatannya beliau sebagai Sultan Keraton Glagahwangi Dhimak pada 7 oktober 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia oleh DYMM SRI SULTAN NOTOBROTO KERATON NUSANTARA di Malaysia dengan gelar DULI YANG MAHA MULIA SRI SULTAN SURYA ALAM JOYOKUSUMO. Argumentasi inilah yang mendasari R. sumito menjadi seorang sultan berdasrkan perhitungan falaq dan akan melestarikan budaya bangsa. Oleh karena itu dirinya di kukuhkan dan berhak menyandang gelar Sultan Demak di abad modern dengan gelar Duli Yang Maha Mulia Kanjeng Sri Suryo Alam. Pemberi penghargaan itu sebagai hal Kebangkitan Kesultanan Demak II di tanah jawa.
R. sumito sendiri bersedia menerima penghargaan dan penobatan tersebut sebagai Sultan Demak. Namun demikian, bukan berarti akn memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Tapi tetap dalam Negara Indonesia seperti Kerajaan di Solo, Surakarta Hadiningrat, dan Jogyakarta, Ngayogyakarta hadiningrat. Dimana Kesultanan Demak bergerak dalm bidang pelestarian budaya-budaya bangsa. Karena pelestarian budaya bangsa ini memang sangat diperlukan. Mengingat sudah banyak budaya dan pusaka-pusaka Kesultanan Demak yang hilang akibat alam maupun perusakan oleh masyarakat itu sendiri. Di sinilah R. sumito ingin menyelamatkan budaya leluhur yang masih ada.
Bahkan ingin sekali menggali peninggalan yang terkubeur dan hilang untuk dimunculkan kembali. Beliau sendiri secara pribadi siap untuk menjalankan amanah untuk melestarikan budaya Kesultanan Demak. Juga untuk menjaga kedamaian berdasarkan Undang-Undang 1945 dan Pancasila. Karena hidup di dunia ini suatu saat akan meninggal. Oleh sebab itu, mumpung masih hidup berbuat kebaikan bagi bangsa Indonesia dan Kasultanan biar nantinya dapat di kenang dengan baik.
Kemudian sebagai wujud dari adanya Kesultanan Demak dan dirinya sebagai sultannya, maka tiap tahun mengadakan pemberian penghargaan atau jumenengan kepada masyarakat yang telah berhasil melestarikan budaya bangsa seprti yang dilakukan oleh Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat jogjakarta dan Susuhuna Surakarta Hadiningrat di Solo Jawa Tengah. Untuk tahun ini telah diadakan tanggal 18-19 Maret 2010. selain itu, pada bulan November 2010 menggelar pertemuan raja-raja se-Nusantara dan juga nantinya akan dihadiri Sultan dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Hal ini sebagai wujud dari eksistensi R. sumito sebagai Sultan Demak di zaman sekarang ini. pertemuan raja-raja dan sultan ini di harapkan akan menjadikan ajang silahturahmi. Kemudian membahas berbagai macam persoalan mesyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat dalam bidang ekonomi. Sehingga akan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat secara menyeluruh sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa.
Keberadaan kesultanan keraton glagahwangi dhimak saat ini memang belum ada istananya yang besar. Namun telah di rancang dalam bentuk maket gambar gedung Keraton Glagahwangi dhimak. Bangunannya nanti tidak jauh dari Makam Astana Gedhong Kenep. Tapi tidak akan menghilangkan makam yang ada.
Keratin Kesultanan Dhimak ini nantinya akan menjadi pusat kebudayaan kesultanan. Semua masyarakat dapat berkunjung sebagaimana keika berkunjung di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadingrat (DIY) dan Keraton Surakarta Hadiningrat Sola Jawa Tengah. Nantinya juga sebagai tempat pertemuan para raja seluruh Nusantara.
Juga di gunakan sebagai tempat seminar dan diskusi oleh kalangan pelajar maupun masyarakat luas tentang kebudayaan masa lalu yang pernah ada dan dihasilkan Kesultanan Demak di masa lampau. Sehinggga diharapkan akan menumbuhkan cinta akan kebudayaan Demak yang telah lama hilang sebagai akibat perpecahan di antara keluarga Kesultanan Demak Bintoro di masa lalu. Munculnya Kesultanan Demak yang baru akan membawa masa depan yang lebih baik dan akan terlestarikannya budaya Kesultanan Demak. Sehingga akan muncul kembali kebesaran dan kejayaan Kesultanan Demak Bintoro.
Suluk-suluk Sunan Bonang 2
Lanjutan dari Suluk-suluk Sunan Bonang (1), hanya dibahas 2 saja, yaitu suluk Jebeng dan suluk wujil
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya.
Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu.
Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi.
Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah)
Lanjutan dari Suluk-suluk Sunan Bonang (1), hanya dibahas 2 saja, yaitu suluk Jebeng dan suluk wujil
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya.
Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu.
Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi.
Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah)
Suluk-suluk Sunan Bonang (1)
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua:
(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968).
(2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna).
Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”.
Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati.
Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan.
Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur. Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua:
(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968).
(2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna).
Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”.
Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati.
Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan.
Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur. Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk-suluk Sunan Bonang 3
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).
Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal:
(1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini;
(2) Hakikat diam dan bicara;
(3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani;
(4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia;
(5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata;
(6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam;
(7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat.
Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya:
”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81).
Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid.
Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang. Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam.
Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan.
Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).
Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal:
(1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini;
(2) Hakikat diam dan bicara;
(3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani;
(4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia;
(5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata;
(6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam;
(7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat.
Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya:
”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81).
Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid.
Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang. Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam.
Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan.
Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Ahad, 26 Jun 2011
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syekh Abdul Qodir al Jaelani (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al Jaelani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani atau juga al Jiliydan. Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, atau nama beliau yang sebenar ialah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir - merupakan keturunan Rasulullah saw, melalui puteri baginda Siti Fatimah Az-Zahra.
Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul Akhir di daerah Babul Azaj di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Inilah silsilah beliau Al Arifbillah Assayyid Abdul Qadir al Jailani r.a
Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Sayyid Hasan
Sayyid Hasan al Mutsanna
Sayyid Abdullah al Mahdi
Sayyid Musa al Jun
Sayyid Dawud
Sayyid Muhammad
Sayyid Yahya Azzahid
Sayyid Abdullah
Sayyid Musa
Syekh Abdul Qadir al Jailani r.a
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani.
Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H.
Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H.
Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut :
"Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu".
Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut :
Dari Ayahnya(Hasani) :
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW
Dari ibunya(Husaini) :
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti
1. Ibnu Aqil,
2. Abul Khatthat,
3. Abul Husein al Farra’
4. Abu Sa’ad al Muharrimi.
Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti
1. Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam,
2. Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Beliau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal.
Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
Al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya :
1. Tafsir Al Jilani
2. Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
3. Futuhul Ghaib.
4. Al-Fath ar-Rabbani
5. Jala' al-Khawathir
6. Sirr al-Asrar
7. Asror Al Asror
8. Malfuzhat
9. Khamsata "Asyara Maktuban
10. Ar Rasael
11. Ad Diwaan
12. Sholawat wal Aurod
13. Yawaqitul Hikam
14. Jalaa al khotir
15. Amrul muhkam
16. Usul as Sabaa
17. Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]]. Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meludah 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”.
Setelah itu, aku salat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meludah 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meludah 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW.
Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meludah ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meludah ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian".
Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah. Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir".
Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula".
Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam.
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Langgan:
Catatan (Atom)